Selasa, 15 September 2009

Metamorfosa dari Siswa ke Mahasiswa

Metamorfosa adalah satu kata yang lazim kita dengar bila ada seekor ulat yang mengalami tahap perubahan menjadi kupu-kupu kupu-kupu ketika dia bermula dari seekor ulat dan dianggap menjijikan. Akan tetapi ketika dia berhasil berubah menjadi kupu-kupu nan cantik dan indah dipandang maka semua orang akan memujinya. Lalu bagaimana dengan manusia seperti kita? Ulat saja bisa menjadi lebih indah dilihat ketika bermetamorfosa, apalagi kita sebagai manusia dideklarasikan oleh Sang Pencipta sebagai makhluk paling sempurna, walupun sesungguhnya kemampuan kita terbatas. Kita perlu percaya dan meyakinkan diri, kalau ulat bisa berubah menjadi kupu-kupu, maka kita pun bisa melakukan transformasi diri dengan hebat yaitu menjadi insan terbaik.
Bermetamorfosa dimaksudkan disini bukan dalam bentuk fisik, seperti halnya pada ulat. Ketika menjadi seekor kupu-kupu dengan melalui proses berdiam diri di dalam sebuah kepompong, akan tetapi kita sebagai manusia bermetamorfosa dalam hal akhlak dan pemikiran. Begitu pula yang akan terjadi pada mantan siswa dan kemudian terdaftar menjadi mahasiswa, karena di dunia kampus ini diharapkan mahasiswa menjadi bagian tak terpisahkan dari kalangan intelektual sehingga nantinya bisa menjadi panutan bagi masyarakat.
Kalangan intelektual (mahasiswa) berbeda dengan dunia siswa, jika dahulu saat kita duduk dibangku sekolah tangan kita lebih kreatif untuk menulis dan mendengarkan guru menyampaikan materi. Namun disini, jati diri mahasiswa dituntut untuk lebih mandiri tidak seperti halnya menjadi siswa. Hal ini terlihat mulai dari kepribadian mahasiswa sampai sistem pengajarannya sangatlah berbeda. Kalau sebelumnya (SLTA) siswa harus berseragam, menerima “ceramah” guru (pendengar setia), dan sebagainya. Maka dengan mereka kuliah, kebiasaan layaknya anak SMA tidak akan mereka temukan lagi. Ketika berseragam putih abu-abu, sifat siswa masih seperti anak-anak yang dibutakan oleh ‘racun’ modernisme dan hedonisme dari sebuah teori yang sengaja diajarkan oleh fenomena harian dibangku sekolah mereka. Sedangkan mahasiswa bukan anak-anak lagi, mereka mau tidak mau harus berperan aktif dalam kegiatan belajar mengajar dosen. Mahasiswa dituntut tidak hanya mengandalkan apa kata dosen. Mereka juga dituntut untuk bisa seperti dosennya, membuat makalah dan mempresentasikannya. Dosen hanya memandu jalannya pembelajaran. Selain itu sistem penilaian dunia kampus lebih termanage, yaitu dengan sistem kredit semester (SKS). Dengan ber-metamorfosa di dunia kampus ini, kita berubah menjadi dewasa dengan proses I’tikaf (berdiam) dalam kandungan waktu sampai menemukan jati diri (makna hidup yang sebenarnya).
Banyak mahasiswa yang merasa dirinya tidak bisa berubah, kebiasaan “nakalnya” serta sikap boros dan tidak produktif sukar dihilangkan ketika di sekolah. Tapi sadarilah kawan, jika kita tetap melakukan hal-hal lama dan sama seperti dulu, maka kita ini seperti ulat yang menjadi ulat terus-menerus dan tidak akan berubah secantik kupu-kupu.
Marilah memetamorfosa dari siswa menuju mahasiswa baru. Mahasiswa baru yang dapat menancapkan pemikiran intelektual pada posisi dan akankah membuat kehidupan kita jauh lebih baik dari sebelumnya. Kampus ini adalah tantangan baru, pikiran baru dan tingkahlaku lebih baik untuk masa depan kita.
Kita harus bermetamorfosa untuk lebih baik.

Jumansyah Hamid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar