Selasa, 15 September 2009

PERJALANANKU

Mengunjungi daerah-daerah yang belum pernah ku jamah adalah hobiku, mendaki gunung maupun lintas alam adalah kesibukanku. Ya itulah aku, gadis lembut yang memiliki sejuta angan-angan untuk menjelajahi bumi ini. Zahra, begitulah teman-teman memanggilku. Teman-teman menjuluki diriku sebagai cewek setengah perkasa, padahal kedua orangtuaku memberi nama yang mengagumkan. Tepat 21 tahun lalu aku dilahirkan dengan nama Fatimah Az-Zahra, lamunanku kembali mengenang akan cerita ibunda akan kelahiranku. Lamunanku terbang seakan berada disana saat itu, namun kenangan tinggal kenangan kini aku telah menyelesaikan semua teori kuliah. Aku masih ingat bagaimana masa-masa menjadi mahasiswa baru, tepatnya 2005 lalu penuh dengan kesan dan kagum akan dunia pekuliahan. Hingga saat ini aku masih merindukan masa itu dan kini membuatku lebih mengerti. Mengerti akan makna hidup dan sejuta pengetahuan serta pengalaman telah ku dapatkan dikampus. Tak terasa hampir genap 4 tahun aku dikampus dan kini aku akan mengadakan penelitian demi tugas akhirku yang berada di daerah terpencil Sumatra Utara Indonesia.
Aku lihat jam digital di HP ku waktu menunjukkan pukul 09.00 wita. Emm... pagi yang cerah, embun pagi mulai menyingkir akan hadirnya mentari. Sinar matahari seolah-olah memaksa menerobos embun hingga cahanya sampai kebumi. Sinarnya mencerahkan dan menghidupkan suasana dibumi. Begitu pula yang saat ini terjadi pada diriku, aku sangat senang hingga tak sabar untuk segera turun dari burung besi terbang dan secepatnya menuju daerah observasi penelitianku. Tahap berikutnya adalah menyelesaikan tugas akhirku. Tugas akhir yang akan menambah panjang namaku.
***
Senin 20 juli 2008 sore, tepat pukul 14.00 tibalah aku sampai di tempat tujuan. Perjalanan yang cukup menguras tenaga, menyerupai pematang sawah dan ada sebagiannya berdebu telah kulewati. Hingga tampak dari kejauhan bangunan-bangunan rumah tersusun rapi, mengelilingi danau yang tampak tenang. Langkahku semankin gesit tak kala mata ini melihat pintu gerbang pertanda telah sampai didesa tersebut. Gerbang tersebut menjulang tinggi, perkiraanku mencapai 5 meter dan alangkah terkejutnya aku, ketika kaki ini baru melangkah masuk melewati gerbang tersebut, beberapa pasang mata menatapku tajam. Tak ada satupun keramahan di mata mereka. Melainkan pandangan sinis dan jijik terhadapku. Betapa tidak, pakaian, ransel, jilbab dan barang-barangku sama sekali asing di mata mereka. Mereka seolah-olah benci padaku.
Tak lama kemudian terdengar teriakan seorang bapak tua yang mulai kehilangan warna rambut hitamnya, dalam benakku mungkin orang tua ini adalah kepala suku daerah ini. Dengan mata terbelalak dan sedikit geram orang tua itu berteriak bagaikan halilintar menyambar-nyambar kemuka bumi. “teroris…teroris…” teriaknya padaku. Memang waktu itu sedang heboh-hebohnya berita menayangkan banyaknya aksi-aksi teroris dengan bom yang meledak dimana-mana. Sehingga perasaan was-was selalu berkecamuk di hati masyarakat sekitar. Apalagi jika ada orang tidak dikenal masuk ke daerah mereka. Tapi aku sangat mengecam sebagian masyarakat yang menuduh sembarangan tanpa tahu letak kebenarannya. Aku sama sekali tidak menerima jika umat Islam di tuding menjadi sarang teroris. Sontak orang-orang yang terheran-heran pada ku tadi dengan segera berlari ke arahku. Akupun berlari sekuat tenaga. Tak perduli dengan jalan berkelok-kelok dan berbatu-batu menerpaku. Aku terus berlari seraya menangis memohon perlindungan dari Allah. Sontak tiba-tiba “bruuuukkkk”, aku terjatuh tersandung batu.
“aduh… tumitku sakit dan berdarah…..!” rintihku. Ketika mereka hendak mendekatiku dan ingin mengeroyokiku, tiba-tiba ada seorang bapak tua mencegah kebengisan mereka terhadapku.
“cukup saudara-saudara, gadis ini bukan teroris. Teroris itu laki-laki, bukan perempuan” katanya tanpa merasa bersalah.
Seketika saja rasanya darahku seolah-olah berhenti mengalir. Seperti kilatan petir menyambar sore hari, hatiku perih. Emosiku memuncak. Aku mulai memberontak. Aku coba menjelaskan pada mereka bahwa Islam bukanlah teroris. Itu fitnah. Hanya orang-orang tidak bertanggung jawab yang mengatasnamakan agama Islam melakukan hal itu. Terus dan terus ku yakinkan mereka, namun usaha ku sia-sia. Mereka tidak menghiraukan sedikitpun setiap perkataan dan pembelaan dariku. Sebaliknya, aku di usir oleh warga tersebut. Jika ku tak cepat-cepat angkat kaki dari kampung itu, mereka tak segan-segan lebih bertindak kasar lagi hingga dapat membuat celaka diriku.
Akupun pergi dari kampung tersebut dengan tanda tanya bergejolak di hatiku. “kampung apakah itu?”. Entah dari mana datangnya, aku seperti mendapat petunjuk untuk pergi ke kampung sebelah. Tanpa fikir panjang lagi, akupun pergi ke sana. Mimpikah aku? Ketika aku telah sampai disana, aku dapat merasakan suasana nyaman, tentram, damai. Berbeda sekali dengan kampung yang pertama kudatangi tadi. Kebetulah hari ini hari Jum’at. Sekitar pukul 12.00 siang. Orang-orang terutama laki-laki mulai memadati jalan menuju mesjid setempat. Sangat mudah kutemukan mersjid disini. Berbeda sekali dengan kampung tadi. Tak satupun dapat kutemukan mesjid, namun kebanyakan gereja di sekitarnya. Mungkin itu semua bukanlah salah mereka mengapa membenci islam, terutama saat berita yang menayangkan mengatakan bahwa mereka dari golongan jamaah Islamiyah. Masya Allah.
***
Sekejab saja jalan raya menjadi sepi. Tak ada satupun warga lalu-lalang. para wanita memilih untuk berdiam di dalam rumah. Tak ada aktifitas berarti, karena semua aktifitas warga mulai dari berdagang dan lain-lain di hentikan sementara ketika waktu sholat Jum’at. Hanyalah suara khatib sedang berceramah serta jamaah yang seksama mendengarkan ceramah tersebut. Subhanallah.... Setelah selesai sholat Jum’at, orang-orang keluar dari mesjid. Kemudian melanjutkan aktifitas kembali setelah berhenti sejenak. Setelah ku tunaikan sholat dzuhur di mesjid, aku pun melanjutkan perjalanan dengan menaiki sebuah bus. Ketika ku masuk kedalamnya, semua para penumpang lantas mengucapkan salam kepadaku hampir bersamaan. Kontras akupun kaget dibuatnya. Akupun menjawab salam mereka dengan senyum tulus. Alangkah bahagianya aku saat itu.
Tak lama kemudian terdengar suara seseorang sedang mengaji. Suaranya begitu merdu. Seketika saja penumpang didalam bus diam membisu seolah-olah terhipnotis oleh kemerduan suara tersebut. Semua penumpang merasa tenang dan bahagia. Rasa kagumku semakin bertambah setelah ku tahu bahwa suara merdu mengaji tadi berasal dari mulut sang ‘supir’ sambil mengemudikan busnya.
Subhanallah… suasana seperti ini mirip dengan ‘kota santri’, Fikirku.
Seminggu sudah aku diam di kampung ini. Dengan menumpang rumah salah satu warga di sana tentunya. Bayangkan saja, setiap sholat fardhu mesjid disini tidak pernah sepi. Alangkah indahnyan jika setiap daerah di aIndonesia seperti ini, tentunya negeri ini akan makmur dan tentram serta dapat hidup rukun di tengah-tengah perbedaan di antara kita. Harapku. Apa hendak dikata, aku harus pulang kembali karena waktu tugas ku hampir selesai. Aku bersyukur, karena aku tinggal di kota yang terkenal dengan kereligiusan yang begitu tinggi. Walaupun sebelumnya aku mendapat sok yang luar biasa di kampung sebelah. Orang-orang melepas kepergianku dengan do’a. Duh, baiknya mereka. ‘Semoga kebaikan kalian mendapat balasan dari Yang Maha Kuasa. Amin.’
Waktu penelitianku dalm tingkat rampung dan sesampainya dirumah nanti akan segera kuanalisa dan ku konsultasikan dengan dosen pembimbingku. Selintas hayalanku melayang ketika berada rumah.
***
Aku kembali dengan membawa laporan yang amat memuaskan. Lega rasanya hati ini. Dalam perjalanan pulang, bus yang membawaku dari kampung tadi berhenti. Kami harus berganti dengan bus lain untuk keluar kota. Aku mulai masuk ke dalam bus di ikuti dengan penumpang yang turun bersamaan dengan ku tadi. Hampr setengah jam kami menunggu lamanya bus yang datang untuk berangkat ke tempat tujuanku. Sehingga terlihat di wajah mereka kekesalan yang mendalam akan lamanya menunggu penumpang antri masuk keladam bus. Terlebih lagi ketika mereka harus berdiri karena tempat duduk telah penuh semua. Aku termasuk beruntung. Karena aku telah lebih dulu masuk sehingga terdapat satu kursi kosong di tengah-tengah. Namun rasanya aku iba saat ku melihat seorang ibu sedang hamil berdiri seraya mengelus-elus perutnya yang muali menambah berat bayi yang dibawa didalam perutnya itu. Melihat pemandangan yang seperti itu, akupun lantas mempersilahkan ibu itu untuk duduk di tempatku, sementara aku memilih untuk berdiri. Dia mendesah kelelahan setelah mengucapkan terima kasih padaku. Aku membalasnya dengan senyum.
Mataku mulai memperhatikan orang-orang sekelilingku. Di belakangku, ada beberapa orang sedang tertidur pulas. Tepat di belakangnya lagi, ‘paling pojok’ ku lihat sepasang kekasih sedang kasmaran dan asyik memadu kasih. Perkiraanku mereka baru saja pulang dari sekolah. Hal itu terlihat dari seragam yang di pakai dengan warna putih abu-abu. Waktu sudah menunjukkan pukul 13.00. ‘Masya Allah… tak sengaja mataku melihat mereka bermesraan. “Dasar anak muda zaman sekarang, tidak menempatkan situasi, dan kondis, malah mencari kesempatan dalam kesempitan lagi”. bisikku dalam hati. Apa mereka tidak ada rasa malu lagi ya? Ah, namanya juga cinta. Cinta dapat melupakan segalanya termasuk rasa malu. Karena cinta itu buta. Hem… walaupun tidak semuanya cinta itu buta, pelakunyalah yang membuat cinta itu menjadi buta dan hilang akal sehatnya.
Ku palingkan pandangan ku pada seorang tepat di depan ku. Pemuda menurut pikiranku seorang preman sedang mulai menyalakan api dan menghisap putung rokok yang baru saja di ambil dari kantong bajunya itu. Lantas penumpang didekatnya merasa terganggu dengan asap rokok yang di keluarkannya tanpa merasa bersalah itu.
“uhuk… uhuk…!” aku terbatuk akibat asap rokok itu.
“maaf mas, saya tidak tahan dengan asap rokok mas, bisa di tahan sementara waktu tidak? Karena tempat dan kondisinya tidak memungkinkan mas untuk merokok”. Lanjutku karena aku sangat alergi sekali dengan bau asap rokok yang mengganggu pernapasanku.
“Apa…! Enak saja kau larang-larang aku, hah…! Apa hak kamu…!”. Aku tersentak kaget. Dia begitu cepat emosi. Para penumpang lain mulai mengarahkan pandangan kearah kami. Sepertinya situasi mulai menegang.
Seorang pemuda lain bertindak cepat. Dia membela ku.
“Tolong mas, tolong… asap rokok mas amat mengganggu penumpang disini”. Katanya mencoba sedikit tenang.
“cuih…! Persetan dengan orang banyak. Awas kau ya!” Dia meludah sembari mengumpat. Di buangnya asap rokoknya ke lantai dan ia injak sekeras-kerasnya dengan kakinya. Kemudian hendak berkelahi dengan pemuda yang membelaku tadi. Sontak di dalam bus pun terjadi keributan. Untung saja hal menegangkan itu tidak berlangsung lama.
Ciiiiiiiiitttttthh! Bus berhenti mendadak. Lantas kemudian terdengar suara teriakan.........
BERSAMBUNG.


MARIA ULFAH

Tidak ada komentar:

Posting Komentar